kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono 3

Sonet, 1

: Andy, Pengamen

“Aku menyanyi untukmu,” katamu. Aku diam,

mendengarkan gerimis yang berderai lalu

bagai benang terurai dari langit yang dalam.

Adakah kausaksikan aku mendengarkanmu?

Aku diam, mendengar dan tidak mendengar

suaramu. “Biar aku menyanyi, hanya untukmu,”

katamu. Aku diam, mungkin gerimis bergetar

bagai tirai warna-warni, hanya untukku.

Apakah kau yakin aku bisa menyaksikan

mahasunyi yang meniti butir-butir gerimis,

apakah yang kauinginkan dariku yang bertahan

agar tak ada sebutir pun dari mata menitis?

“Aku menyanyi untukmu, selalu,” katamu.

Gila, kautusukkan juga senyap senar itu!

 

 

Sonet, 2

Aku tak lain sebutir telur

kubayangkan tergolek di sarang itu

ketika siang sudah luhur —

“Dan tak juga menetas,” katamu.

Aku tak lain seonggok sarang

kubayangkan terbaring di awan biru

ketika hari menjelang petang —

“Dan tak ada burung hinggap,” katamu.

Aku tak lain seekor burung

kubayangkan lepas dari ketinggian itu

ketika malam menjelma senandung —

“Menidurkanmu dalam telur,” katamu.

“Kau akan mendengar dendang hening

merawatmu, tak lekang mendenting.”

 

 

Sonet, 3

“Jangan lupa kirim pesan kalau kau tiba

dengan selamat di bandara,” katamu.

Kudengar getar dari kota nun di sana,

terpisah oleh jalan-jalan berdebu

dan langit yang bagai rasa cemas.

Kata melenting di dinding-dinding

kabin, tak berhak lepas

dari kaca jendela yang tak lagi bening.

Awan yang di bawah bergumpal melata

tampaknya tak siap lagi menjadi lambang

cinta kita, “Apakah ia akan tetap ada

sehabis hujan?” Pesawat mendadak goyang

ketika kubayangkan matamu mendesah,

“Jangan lupa, di sini ada yang gelisah.”

 

 

Sonet, 4

Hidup terasa benar-benar tak mau redup

ketika sudah kaudengar pesan:

suatu hari semua bunyi rapat tertutup.

“Penyanyi itu tuli,” katamu pelan.

Tapi bukankah masih ada langit

yang tak pernah tertutup pelupuknya,

yang menerima segala yang terbersit

bahkan dari mulut si tuli dan si buta?

“Penyanyi itu buta?” tanyamu gemetar;

kita pun diam-diam mendengarkannya,

Cinta terasa baru benar-benar membakar

ketika pesan kaudengar: padamkan nyalanya!

Kita pun menyanyi selepas-lepasnya,

sepasang kekasih yang tuli dan buta.

 

 

Sonet 5

Malam tak menegurmu, bergeser agak ke samping

ketika kau menuangkan air mendidih ke poci;

ada yang sudah entah sejak kapan tergantung di dinding

bergegas meluncur di pinggang gelas-waktu ini.

Dingin menggeser malam sedikit ke sudut ruangan;

kautahan getar tanganmu ketika menaruh tutup

poci itu, dan luput; ada yang ingin kaukibaskan.

Kenapa mesti kaukatakan aku tampak begitu gugup?

Udara bergoyang, pelahan saja, mengurai malam

yang melingkar, mengusir gerat-gerit dingin

yang tak hendak beku, berloncatan di lekuk-lekuk angka jam.

Malam tidak menegurku. Hanya bergeser. Sedikit angin.

Ada yang diam-diam ingin kauusap dari lenganmu

ketika terasa basah oleh tetes tik-tok itu.

 

 

Sonet 6

Sampai hari tidak berapi? Ya, sampai angin pagi

mengkristal lalu berhamburan dari sebatang pohon ranggas.

Sampai suara tak terdengar berdebum lagi?

Ya, tak begitu perlu lagi memejamkan mata, bergegas

memohon diselamatkan dari haru biru

yang meragi dalam sumsummu; tak pantas lagi

menggeser-geser sedikit demi sedikit bangkai waktu

agar tak menjadi bagian dari aroma waktu kini.

Sampai yang pernah bergerit di kasur

tak lagi menempel di langit-langit kepalaku?

Sampai kedua bola matamu kabur,

sayapmu lepas, dan kau melesat ke Ruh itu.

Ruh? Ya! Sampai kau sepenuhnya telanjang

dan tahu: api tubuhmu tinggal bayang-bayang.

 

 

Sonet 7

Ada jarak yang harus ditempuh sampai suasana

siap menerima kita. Dan kita arif menerimanya, bukan?

Ada yang harus tak habis-habisnya kita hela

dan hembuskan sampai pisau yang terpejam di tangan

membelah apel yang di atas meja. Seiris telentang, seiris

tengkurap di sebelahnya? Begitu ramal seorang empu

setelah menyelesaikan tugas menempa sebilah keris.

Celoteh juru nujum yang di bukit nun di sana itu?

Ada jarak yang harus diremas sampai kerut

dalam pembuluh darah kita. Sampai yang biru

kembali hijau berkat kuning itu, sampai segala terhalau:

yang ini, yang itu, yang di sana, yang di situ,

yang layang-layang, yang batu? Ada jarak yang harus ditebas

kalau kita mau menerima pertemuan ini dengan ikhlas.

 

 

Sonet 8

Di sudut itu selalu ada yang seperti menunggu

kita. Mengapa ada yang selalu terasa hadir di sana?

Di situ konon kita dulu dilahirkan, kau tahu,

agar bisa melihat betapa luas batas antara nyata

dan maya. Dua dinding bertemu di sudut itu,

seperti yang sudah dijanjikan sejak purba

ketika sehabis peristiwa itu leluhur kita diburu-buru

dan sesat di rumah ini. Kau masih juga percaya

rupanya, tanpa menyiasati dinding-dinding itu?

Rumah baru terasa rumah kalau ada penyekat

antara sini dan Sana, membentuk sudut tempat kita bertemu

dan memandang lepas ruang luas, tanpa akhirat.

Mengapa terasa harus ada yang menunggu?

Agar tak mungkin ada yang bisa membebaskanmu.

 

 

Sonet 9

Kaubalik-balik buku itu selembar demi selembar

sore ini. Bukankah waktu itu masih pagi,

ketika kau mencatatnya? Aku pungut buku yang kaulempar

ke lantai, telungkup, tampak lusuh, sendiri.

Kenapa mesti ada sore hari? Pejamkan mata, bayangkan

beranda yang pernah membiarkan kita mengitari

pekarangan yang begitu luas, yang kemudian ternyata bukan

bagian dari tempat yang konon disediakan untuk kita tinggali.

Matahari masih hangat ketika aku mencatatnya

di buku yang sore ini telah menggodamu untuk mencari

gambar sebuah taman yang memancarkan aroma

secangkir teh hangat di pagi hari. Ya, bukankah masih pagi

ketika kau menggambarnya? Ya, mungkin karena waktu itu

masih pagi. Lekas, berikan buku itu kembali, padaku!

 

 

Sonet 10

Ada selembar kertas yang belum bertulisan.

Apakah kauharapkan aku ke mari seperti semula,

belum penuh dengan coretan?

Ada yang ingin menulis aksara demi aksara

dan tahu tak akan mencapai kalimat meski ada tanda seru

di ujungnya. Tidak semua memerlukan tulisan,

(Apakah aku kaubayangkan selembar kertas itu?)

meski sudah terlanjur tercatat sebelum sempat diucapkan.

Air menyeret catatan berkelok-kelok di sepanjang sungai

bila penghujan. Tetapi sama sekali tak terbaca

bahkan ketika sudah begitu rekah-rekah perangai

kemarau. Tinggal garis-garis yang carut-marut di dasarnya.

Kau mengharapkanku kembali seperti itu? Risaukah kita

ketika menyadari bahwa tulisan tak perlu, ternyata?

 

 

Sonet 11

Terima kasih, kartu pos bergambar yang kaukirim dari Yogya

sudah sampai kemarin. Tapi aku tak pernah mengirim apa pun,

kau tahu itu. Aku sedang kena macet, Jakarta seperti dulu juga

ketika suatu sore buru-buru kau kuantar ke stasiun.

Tapi aku tak sempat menulis apa pun akhir-akhir ini.

Aku suka membayangkan kau kubonceng sepeda sepanjang Lempuyangan

berhenti di warung bakso di seberang kampus yang sudah sepi.

Kau masih seperti dulu rupanya, menyayangiku? Bayangkan

kalau nanti kita ke sana lagi! Di kartu pos itu ada gambar jalan

berkelok, bermuara di sebuah taman tua tempat kita suka nyasar

melukiskan hutan, sawah, kebun buah, dan taman

yang ingin kita lewati: gelas yang tak pernah penuh. Hahaha, dasar!

Aku suka membayangkan kartu pos itu memuat gambarmu,

residu dari berapa juta helaan dan hembusan napasku dulu.

 

 

Sonet 12

Perjalanan kita selama ini ternyata tanpa tanda baca,

tak ada huruf kapital di awalnya. Yang tak kita ingat

aksara apa. Kita tak pernah yakin apakah titik mesti ada;

tanpa tanda petik, huruf demi huruf berderet rapat –

dan setiap kali terlepas, kita pun segera merasa gerah lagi

dihimpitnya. Tanpa pernah bisa membaca ulang dengan cermat

harus terus kita susun kalimat demi kalimat ini –

tanpa perlu merisaukan apakah semua nanti mampat

pada sebuah tanda tanya. Tapi, bukankah kita sudah mencari

jawaban, sudah tahu apa yang harus kita contreng

jika tersedia pilihan? Dan kemudian memulai lagi

merakit alinea demi alinea, menyusun sebuah dongeng?

Tapi bukankah tak ada huruf kapital ketika kita bicara?

Bukankah kisah cinta memang tak memerlukan tanda baca?

 

 

Sonet 13

Titik-titik hujan belum juga lepas dari tubir daun itu;

ditunggunya kita lewat. Kupandang ke atas:

sebutir jatuh di bulu matamu, yang lain meluncur di pelipismu.

Pohon itu kembali menatapmu, hanya selintas.

Diberkahinya tanganku yang ingin sekali mengusap basah

yang mendingin di wajahmu. Kau seperti ingin melakukan

sesuatu. Aku pun mendadak menghentikan langkah

sejenak – jangan tergesa, agar bisa kaubaca niat titik hujan.

Butir-butir hujan menderas dari sudut-sudut daun itu

tepat ketika kita lewat. Kupandang ke atas.

Pohon itu tak lagi menatapmu. Ada yang membasahi kerudungmu,

meluncur ke dua belah pundakmu. Dibiarkannya kita melintas.

Kita pun bergegas agar segera sampai ke ujung jalan

tanpa bicara. Tak lagi berniat menafsirkan titik hujan

 

 

SONET: X

Siapa menggores di langit biru
Siapa meretas di awan lalu
Siapa mengkristal kabut itu
Siapa mengertap di bunga layu
Siapa cerna di warna ungu
Siapa bernafas di detak waktu
Siapa berkelebat setiap kubuka pintu
Siapa mencair di bawah pandangku
Siapa terucap di celah kata-kataku
Siapa mengaduh di baying-bayang sepiku
Siapa tiba menjemputku berburu
Siapa tiba-tiba menyibak cadarku
Siapa meledak dalam diriku
: siapa AKU

“Kau bertanya tentang puisi yang indah. Berulang aku bilang tak tahu batas-batasnya. Aku hanya tahu puisi yang begitu terbacakan, tiba-tiba hatiku terisi penuh sekaligus kosong. Benderang sekaligus syahdu. Gejolak sekaligus redam. Bagaimana aku bisa menggambarkannya dengan pisau analisa?”

“Ada lagi. Ia mengungkungku sekaligus membebaskanku. Bukankah tiada yang lebih indah ketika semua warna terpancarkan, dan kita terbeku tanpa memilih, membiarkan semua berlalu tanpa sebuah penilaian?”

 

 

Tiba-Tiba Malam pun risik

tiba-tiba malam pun risik
beribu Bisik
tiba-tiba engkau pun lengkap menerima
satu-satunya Duka

 

 

Berjalan di Belakang Jenazah

berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia

di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya

 

 

KAMI BERTIGA

dalam kamar ini kami bertiga:
aku, pisau dan kata –
kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
tak peduli darahku atau darah kata

 

 

PERTEMUAN

Perempuan mengirimkan air matanya

Ke tanah-tanah cahara, ke kutub-kutub bulan

Ke landasan cakrawala, kepalanya di atas bantal

Lembut bagai bianglala

Lelaki tak pernah menoleh

Dan di setiap jejaknya; melebat hutan-hutan,

hibuk pelabuhan-pelabuhan, di pelupuknya sepasang matahari

Keras dan fana

Dan serbuk-serbuk hujan

tiba dari arah mana saja (cadar bagi rahim yang terbuka,

udara yang jenuh)

Ketika mereka berjumpa, di ranjang ini

 

 

MAUT

 

Maut dilahirkan waktu fajar

Ia hidup dari mata air;

Itu sebabnya ia tak pernah mengungkapkan seluk-beluk karat

yang telah mengajarinya bertarung

melawan hidup; ia juga takkan mau

Menjawab teka-teki sejakala

Yang telah menahbiskannya

Menjadi Penjaga gerbang itu

Maut mencintai fajar

dan  mata air, dengan tulus

 

 

Narcissus

seperti juga aku: namamu siapa, bukan?
pandangmu hening di permukaan telaga dan rindumu dalam
tetapi jangan saja kita bercinta
jangan saja aku mencapaimu dan kau padaku menjelma

atau tunggu sampai angin melepaskan selembar daun
dan jatuh di telaga: pandangmu berpendar, bukan?
cemaskah aku kalau nanti air hening kembali?
cemaskah aku kalau gugur daun demi daun lagi

 

Kolam di Pekarangan

/1/

Daun yang membusuk di dasar kolam itu masih juga tengadah ke ranting pohon jeruk yang dulu melahirkannya.

 

Ia ingin sekali bisa merindukannya.

 

Tak akan dilupakannya hari itu menjelang subuh hujan terbawa angin memutarnya pelahan, melepasnya dari ranting yang dibebani begitu banyak daun yang terus-menerus berusaha untuk tidak bergoyang.

 

Ia tak sempat lagi menyaksikan matahari yang senantiasa hilang-tampak di sela-sela rimbunan yang kalau siang diharapkan lumut yang membungkus batu-batu dan menempel di dinding kolam itu.

 

Ada sesuatu yang dirasakannya hilang di hari pertama ia terbaring di kolam itu, ada lembab angin yang tidak akan bisa dirasakannya lagi di dalam kepungan air yang berjanji akan membusukkannya segera setelah zat yang dikandungnya meresap ke pori-porinya.

 

Ada gigil matahari yang tidak akan bisa dihayatinya lagi yang berkas-berkas sinarnya suka menyentuh-nyentuhkan hangatnya pada ranting yang hanya berbisik jika angin lewat tanpa mengatakan apa-apa.

 

Zat itu bukan angin. Zat itu bukan cahaya matahari.

 

Zat itu menyebabkannya menyerah saja pada air yang tak pernah bisa berhenti bergerak karena ikan-ikan yang di kolam itu diperingatkan entah oleh Siapa dulu ketika waktu masih sangat purba untuk tidak pernah tidur. Ia pun bergoyang ke sana ke mari di atas hamparan batu kerikil yang mengalasi kolam itu. Tak pernah terbayangkan olehnya bertanya kepada batu kerikil mengapa kamu selalu memejamkan mata. Ia berharap bisa mengenal satu demi satu kerikil itu sebelum sepenuhnya membusuk dan menjadi satu dengan air seperti daun-daun lain yang lebih dahulu jatuh ke kolam itu. Ia tidak suka membayangkan daun lain yang kebetulan jatuh di kaki pohon itu, membusuk dan menjadi pupuk, kalau kebetulan luput dari sapu si tukang kebun.

*

Ia ingin sekali bisa merindukan ranting pohon jeruk itu.

*

Ingin sekali bisa merindukan dirinya sebagai kuncup.

/2/

Ikan tidak pernah merasa terganggu setiap kali ada daun jatuh ke kolam, ia memahami bahwa air kolam tidak berhak mengeluh tentang apa saja yang jatuh di dalamnya. Air kolam, dunianya itu. Ia merasa bahagia ada sebatang pohon jeruk yang tumbuh di pinggir kolam itu yang rimbunannya selalu ditafsirkannya sebagai anugerah karena melindunginya dari matahari yang wataknya sulit ditebak. Ia senang bisa bergerak mengelilingi kolam itu sambil sesekali menyambar lumut yang terjurai kalau beberapa hari lamanya si empunya rumah lupa menebarkan makanan. Mungkin karena tidak bisa berbuat lain, mungkin karena tidak akan pernah bisa memahami betapa menggetarkannya melawan arus sungai atau terjun dari ketinggian, mungkin karena tidak pernah merasakan godaan umpan yang dikaitkan di ujung pancing. Ia tahu ada daun jatuh, ia tahu daun itu akan membusuk dan bersenyawa dengan dunia yang membebaskannya bergerak ke sana ke mari, ia tahu bahwa daun itu tidak akan bisa bergerak kecuali kalau air digoyang-goyangnya. Tidak pernah dikatakannya Jangan ikut bergerak tinggal saja di pojok kolam itu sampai zat entah apa itu membusukkanmu. Ikan tidak pernah percaya bahwa kolam itu dibuat khusus untuk dirinya oleh sebab itu apa pun bisa saja berada di situ dan bergoyang-goyang seirama dengan gerak air yang disibakkannya yang tak pernah peduli ia meluncur ke mana pun. Air tidak punya pintu.

*

Kadangkala ia merasa telah melewati pintu demi pintu.

*

Merasa lega telah meninggalkan suatu tempat dan tidak hanya tetap berada di situ.

/3/

Air kolam adalah jendela yang suka menengadah menunggu kalau-kalau matahari berkelebat lewat di sela rimbunan dan dengan cerdik menembusnya karena lumut merindukannya. Air tanpa lumut? Air, matahari, lumut. Ia tahu bahwa dirinya mengandung zat yang membusukkan daun dan menumbuhkan lumut, ia juga tahu bahwa langit tempat matahari berputar itu berada jauh di luar luar luar sana, ia bahkan tahu bahwa dongeng tentang daun, ikan, dan lumut yang pernah berziarah ke jauh sana itu tak lain siratan dari rasa gamang dan kawatir akan kesia-siaan tempat yang dihuninya. Langit tak pernah firdaus baginya. Dulu langit suka bercermin padanya tetapi sekarang terhalang rimbunan pohon jeruk di pinggirnya yang semakin rapat daunnya karena matahari dan hujan tak putus-putus bergantian menyayanginya. Ia harus merawat daun yang karena tak kuat lagi bertahan lepas dari tangkainya hari itu sebelum subuh tiba. Ia harus merawatnya sampai benar-benar busuk, terurai, dan tak bisa lagi dikenali terpisah darinya. Ia pun harus habis-habisan menyayangi ikan itu agar bisa terus-menerus meluncur dan menggoyangnya. Air baru sebenar-benar air kalau ada yang terasa meluncur, kalau ada yang menggoyangnya, kalau ada yang berterima kasih karena bisa bernapas di dalamnya. Ia sama sekali tak suka bertanya siapa gerangan yang telah mempertemukan kalian di sini. Ia tak peduli lagi apakah berasal dari awan di langit yang kadang tampak bagai burung kadang bagai gugus kapas kadang bagai langit-langit kelam kelabu. Tak peduli lagi apakah berasal dari sumber jauh dalam tanah yang dulu pernah dibayangkannya kadang bagai silangan garis-garis lurus, kadang bagai kelokan tak beraturan, kadang bagai labirin.

*

Ia kini dunia.

*

 

Tinggalkan komentar