kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono 3

Sonet, 1

: Andy, Pengamen

“Aku menyanyi untukmu,” katamu. Aku diam,

mendengarkan gerimis yang berderai lalu

bagai benang terurai dari langit yang dalam.

Adakah kausaksikan aku mendengarkanmu?

Aku diam, mendengar dan tidak mendengar

suaramu. “Biar aku menyanyi, hanya untukmu,”

katamu. Aku diam, mungkin gerimis bergetar

bagai tirai warna-warni, hanya untukku.

Apakah kau yakin aku bisa menyaksikan

mahasunyi yang meniti butir-butir gerimis,

apakah yang kauinginkan dariku yang bertahan

agar tak ada sebutir pun dari mata menitis?

“Aku menyanyi untukmu, selalu,” katamu.

Gila, kautusukkan juga senyap senar itu!

 

 

Sonet, 2

Aku tak lain sebutir telur

kubayangkan tergolek di sarang itu

ketika siang sudah luhur —

“Dan tak juga menetas,” katamu.

Aku tak lain seonggok sarang

kubayangkan terbaring di awan biru

ketika hari menjelang petang —

“Dan tak ada burung hinggap,” katamu.

Aku tak lain seekor burung

kubayangkan lepas dari ketinggian itu

ketika malam menjelma senandung —

“Menidurkanmu dalam telur,” katamu.

“Kau akan mendengar dendang hening

merawatmu, tak lekang mendenting.”

 

 

Sonet, 3

“Jangan lupa kirim pesan kalau kau tiba

dengan selamat di bandara,” katamu.

Kudengar getar dari kota nun di sana,

terpisah oleh jalan-jalan berdebu

dan langit yang bagai rasa cemas.

Kata melenting di dinding-dinding

kabin, tak berhak lepas

dari kaca jendela yang tak lagi bening.

Awan yang di bawah bergumpal melata

tampaknya tak siap lagi menjadi lambang

cinta kita, “Apakah ia akan tetap ada

sehabis hujan?” Pesawat mendadak goyang

ketika kubayangkan matamu mendesah,

“Jangan lupa, di sini ada yang gelisah.”

 

 

Sonet, 4

Hidup terasa benar-benar tak mau redup

ketika sudah kaudengar pesan:

suatu hari semua bunyi rapat tertutup.

“Penyanyi itu tuli,” katamu pelan.

Tapi bukankah masih ada langit

yang tak pernah tertutup pelupuknya,

yang menerima segala yang terbersit

bahkan dari mulut si tuli dan si buta?

“Penyanyi itu buta?” tanyamu gemetar;

kita pun diam-diam mendengarkannya,

Cinta terasa baru benar-benar membakar

ketika pesan kaudengar: padamkan nyalanya!

Kita pun menyanyi selepas-lepasnya,

sepasang kekasih yang tuli dan buta.

 

 

Sonet 5

Malam tak menegurmu, bergeser agak ke samping

ketika kau menuangkan air mendidih ke poci;

ada yang sudah entah sejak kapan tergantung di dinding

bergegas meluncur di pinggang gelas-waktu ini.

Dingin menggeser malam sedikit ke sudut ruangan;

kautahan getar tanganmu ketika menaruh tutup

poci itu, dan luput; ada yang ingin kaukibaskan.

Kenapa mesti kaukatakan aku tampak begitu gugup?

Udara bergoyang, pelahan saja, mengurai malam

yang melingkar, mengusir gerat-gerit dingin

yang tak hendak beku, berloncatan di lekuk-lekuk angka jam.

Malam tidak menegurku. Hanya bergeser. Sedikit angin.

Ada yang diam-diam ingin kauusap dari lenganmu

ketika terasa basah oleh tetes tik-tok itu.

 

 

Sonet 6

Sampai hari tidak berapi? Ya, sampai angin pagi

mengkristal lalu berhamburan dari sebatang pohon ranggas.

Sampai suara tak terdengar berdebum lagi?

Ya, tak begitu perlu lagi memejamkan mata, bergegas

memohon diselamatkan dari haru biru

yang meragi dalam sumsummu; tak pantas lagi

menggeser-geser sedikit demi sedikit bangkai waktu

agar tak menjadi bagian dari aroma waktu kini.

Sampai yang pernah bergerit di kasur

tak lagi menempel di langit-langit kepalaku?

Sampai kedua bola matamu kabur,

sayapmu lepas, dan kau melesat ke Ruh itu.

Ruh? Ya! Sampai kau sepenuhnya telanjang

dan tahu: api tubuhmu tinggal bayang-bayang.

 

 

Sonet 7

Ada jarak yang harus ditempuh sampai suasana

siap menerima kita. Dan kita arif menerimanya, bukan?

Ada yang harus tak habis-habisnya kita hela

dan hembuskan sampai pisau yang terpejam di tangan

membelah apel yang di atas meja. Seiris telentang, seiris

tengkurap di sebelahnya? Begitu ramal seorang empu

setelah menyelesaikan tugas menempa sebilah keris.

Celoteh juru nujum yang di bukit nun di sana itu?

Ada jarak yang harus diremas sampai kerut

dalam pembuluh darah kita. Sampai yang biru

kembali hijau berkat kuning itu, sampai segala terhalau:

yang ini, yang itu, yang di sana, yang di situ,

yang layang-layang, yang batu? Ada jarak yang harus ditebas

kalau kita mau menerima pertemuan ini dengan ikhlas.

 

 

Sonet 8

Di sudut itu selalu ada yang seperti menunggu

kita. Mengapa ada yang selalu terasa hadir di sana?

Di situ konon kita dulu dilahirkan, kau tahu,

agar bisa melihat betapa luas batas antara nyata

dan maya. Dua dinding bertemu di sudut itu,

seperti yang sudah dijanjikan sejak purba

ketika sehabis peristiwa itu leluhur kita diburu-buru

dan sesat di rumah ini. Kau masih juga percaya

rupanya, tanpa menyiasati dinding-dinding itu?

Rumah baru terasa rumah kalau ada penyekat

antara sini dan Sana, membentuk sudut tempat kita bertemu

dan memandang lepas ruang luas, tanpa akhirat.

Mengapa terasa harus ada yang menunggu?

Agar tak mungkin ada yang bisa membebaskanmu.

 

 

Sonet 9

Kaubalik-balik buku itu selembar demi selembar

sore ini. Bukankah waktu itu masih pagi,

ketika kau mencatatnya? Aku pungut buku yang kaulempar

ke lantai, telungkup, tampak lusuh, sendiri.

Kenapa mesti ada sore hari? Pejamkan mata, bayangkan

beranda yang pernah membiarkan kita mengitari

pekarangan yang begitu luas, yang kemudian ternyata bukan

bagian dari tempat yang konon disediakan untuk kita tinggali.

Matahari masih hangat ketika aku mencatatnya

di buku yang sore ini telah menggodamu untuk mencari

gambar sebuah taman yang memancarkan aroma

secangkir teh hangat di pagi hari. Ya, bukankah masih pagi

ketika kau menggambarnya? Ya, mungkin karena waktu itu

masih pagi. Lekas, berikan buku itu kembali, padaku!

 

 

Sonet 10

Ada selembar kertas yang belum bertulisan.

Apakah kauharapkan aku ke mari seperti semula,

belum penuh dengan coretan?

Ada yang ingin menulis aksara demi aksara

dan tahu tak akan mencapai kalimat meski ada tanda seru

di ujungnya. Tidak semua memerlukan tulisan,

(Apakah aku kaubayangkan selembar kertas itu?)

meski sudah terlanjur tercatat sebelum sempat diucapkan.

Air menyeret catatan berkelok-kelok di sepanjang sungai

bila penghujan. Tetapi sama sekali tak terbaca

bahkan ketika sudah begitu rekah-rekah perangai

kemarau. Tinggal garis-garis yang carut-marut di dasarnya.

Kau mengharapkanku kembali seperti itu? Risaukah kita

ketika menyadari bahwa tulisan tak perlu, ternyata?

 

 

Sonet 11

Terima kasih, kartu pos bergambar yang kaukirim dari Yogya

sudah sampai kemarin. Tapi aku tak pernah mengirim apa pun,

kau tahu itu. Aku sedang kena macet, Jakarta seperti dulu juga

ketika suatu sore buru-buru kau kuantar ke stasiun.

Tapi aku tak sempat menulis apa pun akhir-akhir ini.

Aku suka membayangkan kau kubonceng sepeda sepanjang Lempuyangan

berhenti di warung bakso di seberang kampus yang sudah sepi.

Kau masih seperti dulu rupanya, menyayangiku? Bayangkan

kalau nanti kita ke sana lagi! Di kartu pos itu ada gambar jalan

berkelok, bermuara di sebuah taman tua tempat kita suka nyasar

melukiskan hutan, sawah, kebun buah, dan taman

yang ingin kita lewati: gelas yang tak pernah penuh. Hahaha, dasar!

Aku suka membayangkan kartu pos itu memuat gambarmu,

residu dari berapa juta helaan dan hembusan napasku dulu.

 

 

Sonet 12

Perjalanan kita selama ini ternyata tanpa tanda baca,

tak ada huruf kapital di awalnya. Yang tak kita ingat

aksara apa. Kita tak pernah yakin apakah titik mesti ada;

tanpa tanda petik, huruf demi huruf berderet rapat –

dan setiap kali terlepas, kita pun segera merasa gerah lagi

dihimpitnya. Tanpa pernah bisa membaca ulang dengan cermat

harus terus kita susun kalimat demi kalimat ini –

tanpa perlu merisaukan apakah semua nanti mampat

pada sebuah tanda tanya. Tapi, bukankah kita sudah mencari

jawaban, sudah tahu apa yang harus kita contreng

jika tersedia pilihan? Dan kemudian memulai lagi

merakit alinea demi alinea, menyusun sebuah dongeng?

Tapi bukankah tak ada huruf kapital ketika kita bicara?

Bukankah kisah cinta memang tak memerlukan tanda baca?

 

 

Sonet 13

Titik-titik hujan belum juga lepas dari tubir daun itu;

ditunggunya kita lewat. Kupandang ke atas:

sebutir jatuh di bulu matamu, yang lain meluncur di pelipismu.

Pohon itu kembali menatapmu, hanya selintas.

Diberkahinya tanganku yang ingin sekali mengusap basah

yang mendingin di wajahmu. Kau seperti ingin melakukan

sesuatu. Aku pun mendadak menghentikan langkah

sejenak – jangan tergesa, agar bisa kaubaca niat titik hujan.

Butir-butir hujan menderas dari sudut-sudut daun itu

tepat ketika kita lewat. Kupandang ke atas.

Pohon itu tak lagi menatapmu. Ada yang membasahi kerudungmu,

meluncur ke dua belah pundakmu. Dibiarkannya kita melintas.

Kita pun bergegas agar segera sampai ke ujung jalan

tanpa bicara. Tak lagi berniat menafsirkan titik hujan

 

 

SONET: X

Siapa menggores di langit biru
Siapa meretas di awan lalu
Siapa mengkristal kabut itu
Siapa mengertap di bunga layu
Siapa cerna di warna ungu
Siapa bernafas di detak waktu
Siapa berkelebat setiap kubuka pintu
Siapa mencair di bawah pandangku
Siapa terucap di celah kata-kataku
Siapa mengaduh di baying-bayang sepiku
Siapa tiba menjemputku berburu
Siapa tiba-tiba menyibak cadarku
Siapa meledak dalam diriku
: siapa AKU

“Kau bertanya tentang puisi yang indah. Berulang aku bilang tak tahu batas-batasnya. Aku hanya tahu puisi yang begitu terbacakan, tiba-tiba hatiku terisi penuh sekaligus kosong. Benderang sekaligus syahdu. Gejolak sekaligus redam. Bagaimana aku bisa menggambarkannya dengan pisau analisa?”

“Ada lagi. Ia mengungkungku sekaligus membebaskanku. Bukankah tiada yang lebih indah ketika semua warna terpancarkan, dan kita terbeku tanpa memilih, membiarkan semua berlalu tanpa sebuah penilaian?”

 

 

Tiba-Tiba Malam pun risik

tiba-tiba malam pun risik
beribu Bisik
tiba-tiba engkau pun lengkap menerima
satu-satunya Duka

 

 

Berjalan di Belakang Jenazah

berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia

di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya

 

 

KAMI BERTIGA

dalam kamar ini kami bertiga:
aku, pisau dan kata –
kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
tak peduli darahku atau darah kata

 

 

PERTEMUAN

Perempuan mengirimkan air matanya

Ke tanah-tanah cahara, ke kutub-kutub bulan

Ke landasan cakrawala, kepalanya di atas bantal

Lembut bagai bianglala

Lelaki tak pernah menoleh

Dan di setiap jejaknya; melebat hutan-hutan,

hibuk pelabuhan-pelabuhan, di pelupuknya sepasang matahari

Keras dan fana

Dan serbuk-serbuk hujan

tiba dari arah mana saja (cadar bagi rahim yang terbuka,

udara yang jenuh)

Ketika mereka berjumpa, di ranjang ini

 

 

MAUT

 

Maut dilahirkan waktu fajar

Ia hidup dari mata air;

Itu sebabnya ia tak pernah mengungkapkan seluk-beluk karat

yang telah mengajarinya bertarung

melawan hidup; ia juga takkan mau

Menjawab teka-teki sejakala

Yang telah menahbiskannya

Menjadi Penjaga gerbang itu

Maut mencintai fajar

dan  mata air, dengan tulus

 

 

Narcissus

seperti juga aku: namamu siapa, bukan?
pandangmu hening di permukaan telaga dan rindumu dalam
tetapi jangan saja kita bercinta
jangan saja aku mencapaimu dan kau padaku menjelma

atau tunggu sampai angin melepaskan selembar daun
dan jatuh di telaga: pandangmu berpendar, bukan?
cemaskah aku kalau nanti air hening kembali?
cemaskah aku kalau gugur daun demi daun lagi

 

Kolam di Pekarangan

/1/

Daun yang membusuk di dasar kolam itu masih juga tengadah ke ranting pohon jeruk yang dulu melahirkannya.

 

Ia ingin sekali bisa merindukannya.

 

Tak akan dilupakannya hari itu menjelang subuh hujan terbawa angin memutarnya pelahan, melepasnya dari ranting yang dibebani begitu banyak daun yang terus-menerus berusaha untuk tidak bergoyang.

 

Ia tak sempat lagi menyaksikan matahari yang senantiasa hilang-tampak di sela-sela rimbunan yang kalau siang diharapkan lumut yang membungkus batu-batu dan menempel di dinding kolam itu.

 

Ada sesuatu yang dirasakannya hilang di hari pertama ia terbaring di kolam itu, ada lembab angin yang tidak akan bisa dirasakannya lagi di dalam kepungan air yang berjanji akan membusukkannya segera setelah zat yang dikandungnya meresap ke pori-porinya.

 

Ada gigil matahari yang tidak akan bisa dihayatinya lagi yang berkas-berkas sinarnya suka menyentuh-nyentuhkan hangatnya pada ranting yang hanya berbisik jika angin lewat tanpa mengatakan apa-apa.

 

Zat itu bukan angin. Zat itu bukan cahaya matahari.

 

Zat itu menyebabkannya menyerah saja pada air yang tak pernah bisa berhenti bergerak karena ikan-ikan yang di kolam itu diperingatkan entah oleh Siapa dulu ketika waktu masih sangat purba untuk tidak pernah tidur. Ia pun bergoyang ke sana ke mari di atas hamparan batu kerikil yang mengalasi kolam itu. Tak pernah terbayangkan olehnya bertanya kepada batu kerikil mengapa kamu selalu memejamkan mata. Ia berharap bisa mengenal satu demi satu kerikil itu sebelum sepenuhnya membusuk dan menjadi satu dengan air seperti daun-daun lain yang lebih dahulu jatuh ke kolam itu. Ia tidak suka membayangkan daun lain yang kebetulan jatuh di kaki pohon itu, membusuk dan menjadi pupuk, kalau kebetulan luput dari sapu si tukang kebun.

*

Ia ingin sekali bisa merindukan ranting pohon jeruk itu.

*

Ingin sekali bisa merindukan dirinya sebagai kuncup.

/2/

Ikan tidak pernah merasa terganggu setiap kali ada daun jatuh ke kolam, ia memahami bahwa air kolam tidak berhak mengeluh tentang apa saja yang jatuh di dalamnya. Air kolam, dunianya itu. Ia merasa bahagia ada sebatang pohon jeruk yang tumbuh di pinggir kolam itu yang rimbunannya selalu ditafsirkannya sebagai anugerah karena melindunginya dari matahari yang wataknya sulit ditebak. Ia senang bisa bergerak mengelilingi kolam itu sambil sesekali menyambar lumut yang terjurai kalau beberapa hari lamanya si empunya rumah lupa menebarkan makanan. Mungkin karena tidak bisa berbuat lain, mungkin karena tidak akan pernah bisa memahami betapa menggetarkannya melawan arus sungai atau terjun dari ketinggian, mungkin karena tidak pernah merasakan godaan umpan yang dikaitkan di ujung pancing. Ia tahu ada daun jatuh, ia tahu daun itu akan membusuk dan bersenyawa dengan dunia yang membebaskannya bergerak ke sana ke mari, ia tahu bahwa daun itu tidak akan bisa bergerak kecuali kalau air digoyang-goyangnya. Tidak pernah dikatakannya Jangan ikut bergerak tinggal saja di pojok kolam itu sampai zat entah apa itu membusukkanmu. Ikan tidak pernah percaya bahwa kolam itu dibuat khusus untuk dirinya oleh sebab itu apa pun bisa saja berada di situ dan bergoyang-goyang seirama dengan gerak air yang disibakkannya yang tak pernah peduli ia meluncur ke mana pun. Air tidak punya pintu.

*

Kadangkala ia merasa telah melewati pintu demi pintu.

*

Merasa lega telah meninggalkan suatu tempat dan tidak hanya tetap berada di situ.

/3/

Air kolam adalah jendela yang suka menengadah menunggu kalau-kalau matahari berkelebat lewat di sela rimbunan dan dengan cerdik menembusnya karena lumut merindukannya. Air tanpa lumut? Air, matahari, lumut. Ia tahu bahwa dirinya mengandung zat yang membusukkan daun dan menumbuhkan lumut, ia juga tahu bahwa langit tempat matahari berputar itu berada jauh di luar luar luar sana, ia bahkan tahu bahwa dongeng tentang daun, ikan, dan lumut yang pernah berziarah ke jauh sana itu tak lain siratan dari rasa gamang dan kawatir akan kesia-siaan tempat yang dihuninya. Langit tak pernah firdaus baginya. Dulu langit suka bercermin padanya tetapi sekarang terhalang rimbunan pohon jeruk di pinggirnya yang semakin rapat daunnya karena matahari dan hujan tak putus-putus bergantian menyayanginya. Ia harus merawat daun yang karena tak kuat lagi bertahan lepas dari tangkainya hari itu sebelum subuh tiba. Ia harus merawatnya sampai benar-benar busuk, terurai, dan tak bisa lagi dikenali terpisah darinya. Ia pun harus habis-habisan menyayangi ikan itu agar bisa terus-menerus meluncur dan menggoyangnya. Air baru sebenar-benar air kalau ada yang terasa meluncur, kalau ada yang menggoyangnya, kalau ada yang berterima kasih karena bisa bernapas di dalamnya. Ia sama sekali tak suka bertanya siapa gerangan yang telah mempertemukan kalian di sini. Ia tak peduli lagi apakah berasal dari awan di langit yang kadang tampak bagai burung kadang bagai gugus kapas kadang bagai langit-langit kelam kelabu. Tak peduli lagi apakah berasal dari sumber jauh dalam tanah yang dulu pernah dibayangkannya kadang bagai silangan garis-garis lurus, kadang bagai kelokan tak beraturan, kadang bagai labirin.

*

Ia kini dunia.

*

 

kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono 2

AIR SELOKAN

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

“Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit,” katamu pada suatu hari minggu pagi. Waktu itu kau berjalanjalan bersama istrimu yang sedang mengandung

— ia hampir muntah karena bau sengit itu.

 

Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur darah dan amis baunya. Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.

 

Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu:

“Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu — alangkah indahnya!”

Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali.

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

ATAS KEMERDEKAAN

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

kita berkata : jadilah

dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut

di atasnya : langit dan badai tak henti-henti

di tepinya cakrawala

 

terjerat juga akhirnya

kita, kemudian adalah sibuk

mengusut rahasia angka-angka

sebelum Hari yang ketujuh tiba

 

sebelum kita ciptakan pula Firdaus

dari segenap mimpi kita

sementara seekor ular melilit pohon itu :

inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah

 

Horison

Thn III, No. 8

Agustus 1968

Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

 

DI TANGAN ANAK-ANAK

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad yang tak takluk pada gelombang, menjelma burung . yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan; di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci.

“Tuan, jangan kauganggu permainanku ini.”

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang

aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan

aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang

aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan

 

 

 

BUNGA, 1

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

(i)

Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.

Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;

siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu;

malam hari ia mendengar seru serigala.

Tapi katanya, “Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!”

 

(ii)

Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.

Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ….

Teriaknya, “Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!”

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

BUNGA, 2

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

mawar itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika pemilik

taman memetiknya hari ini; tak ada alasan kenapa ia ingin berkata

jangan sebab toh wanita itu tak mengenal isaratnya — tak ada

alasan untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin

menyiraminya dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta itu

kini wajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya

selembar demi selembar dan membiarkannya berjatuhan menjelma

pendar-pendar di permukaan kolam

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

BUNGA, 3

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

seuntai kuntum melati yang di ranjang itu sudah berwarna coklat ketika tercium udara subuh dan terdengar ketukan di pintu

tak ada sahutan

seuntai kuntum melati itu sudah kering: wanginya mengeras di empat penjuru dan menjelma kristal-kristal di udara ketika terdengar ada yang memaksa membuka pintu

lalu terdengar seperti gema “hai, siapa gerangan yang telah membawa pergi jasadku?”

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

CARA MEMBUNUH BURUNG

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

bagaimanakah cara membunuh burung yang suka berkukuk bersama teng-teng jam dinding yang tergantung sejak kita belum dilahirkan itu?

soalnya ia bukan seperti burung-burung yang suka berkicau setiap pagi meloncat dari cahaya ke cahaya di sela-sela ranting pohon jambu (ah dunia di antara bingkai jendela!)

soalnya ia suka mengusikku tengah malam, padahal aku sering ingin sendirian

soalnya ia baka

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

CERMIN, 1

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

cermin tak pernah berteriak;

ia pun tak pernah meraung, tersedan, atau terhisak,

meski apa pun jadi terbalik di dalamnya;

barangkali ia hanya bisa bertanya:

mengapa kau seperti kehabisan suara?

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

CERMIN, 2

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

mendadak kau mengabut dalam kamar, mencari dalam cermin;

tapi cermin buram kalau kau entah di mana, kalau kau mengembun dan menempel di kaca, kalau kau mendadak menetes dan tepercik ke mana-mana;

dan cermin menangkapmu sia-sia

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

DI ATAS BATU

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

ia duduk di atas batu dan melempar-lemparkan kerikil ke tengah kali

ia gerak-gerakkan kaki-kakinya di air sehingga memercik kesana ke mari

ia pandang sekeliling : matahari yang hilang – timbul di sela goyang daun-daunan, jalan setapak yang mendaki tebing kali, beberapa ekor capung

— ia ingin yakin bahwa benar-benar berada di sini

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

PERTAPA

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

Jangan mengganggu:

aku, satria itu, sedang bertapa dalam sebuah gua, atau sebutir telur, atau. sepatah kata — ah, apa ada bedanya. Pada saatnya nanti, kalau aku sudah dililit akar, sudah merupakan benih, sudah mencapai makna — masih beranikah kau menyapaku, Saudara?

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

DUA PERISTIWA DALAM SATU SAJAK DUA BAGIAN

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

1

sehabis langkah-langkah kaki: hening

siapa?

barangkali si pesuruh yang tersesat dan gagal menemukan tempat- tinggalmu padahal sejak semula sudah diikutinya jejakmu

padahal harus lekas-lekas disampaikannya pesan itu padamu

 

2

seolah-olah kau harus segera mengucapkan sederet kata

yang pernah kaukenal artinya,

yang membuatmu terkenang akan batang randu alas tua

yang suka menjeritjerit kalau sarat berbunga

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

GONGGONG ANJING

untuk Rizki

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

gonggong anjing itu mula-mula lengket di lumpur

lalu merayapi pohon cemara dan tergelincir terbanting di atas rumah

menyusup lewat celah-celah genting

bergema dalam kamar demi kamar

tersuling lewat mimpi seorang anak lelaki

siapa itu yang bernyanyi bagai bidadari?” tanya sunyi

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

KEPOMPONG ITU

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

kepompong yang tergantung di daun jambu itu mendengar kutukmu yang kacau terhadap hawa lembab ketika kau menutup jendela waktu hari hujan

 

kepompong itu juga mendengar rohmu yang bermimpi dan meninggalkan tubuhmu: melepaskan diri lewat celah pintu, melayang di udara dingin sambil bernyanyi dengan suara bening dan bermuatan bau bunga

 

dan kepompong itu hanya bisa menggerak-gerakkan tubuhnya ke kanan-kiri, belum saatnya ia menjelma kupu-kupu; dan, kau tahu , ia tak berhak bermimpi

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

KETIKA MENUNGGU BIS KOTA, MALAM-MALAM

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

“Hus, itu bukan anjing; itu capung!” katanya. Tapi capung tak pernah terbang malam, bukan? Capung tak suka ke tempat sampah

— biasanya ia hinggap di ujung daun rumput waktu pagi hari,

dan kalau ada gadis kecil akan menangkapnya ia pun terbang ke balik pagar sambil mendengarkan suara “aahh!” Tubuhnya mungil, bukan?

Sedangkan yang kulihat tadi jelas anjing kampung yang ekornya buntung, menjilatjilat tempat sampah yang di seberang halte itu, mengelilinginya,

lalu kencing di sudutnya.

Hanya saja, aku memang tak melihat ke mana gaibnya.

“Itu capung!” katanya. Sayang sekali bahwa kau merasa tak melihat apa pun di seberang sana tadi.

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

KISAH

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

Kau pergi, sehabis menutup pintu pagar sambil sekilas menoleh namamu sendiri yang tercetak di plat alumunium itu.Hari itu musim hujan yang panjang dan sejak itu mereka tak pernah melihatmu lagi.

Sehabis penghujan reda, plat nama itu ditumbuhi lumut sehingga tak bisa terbaca lagi.

Hari ini seorang yang mirip denganmu nampak berhenti di depan pintu pagar rumahmu, seperti mencari sesuatu. la bersihkan lumut dari plat itu, Ialu dibacanya namamu nyaring-nyaring.

Kemudian ia berkisah padaku tentang pengembaraanmu.

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

KUKIRIMKAN PADAMU

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

kukirimkan padamu kartu pos bergambar, istriku,

par avion: sebuah taman kota, rumputan dan bunga-bunga, bangku dan beberapa orang tua, burung-burung merpati dan langit yang entah batasnya.

 

Aku, tentu saja, tak ada di antara mereka.

Namun ada.

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

KUTERKA GERIMIS

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

Kuterka gerimis mulai gugur

Kaukah yang melintas di antara korek api dan ujung rokokku

sambil melepaskan isarat yang sudah sejak lama kulupakan kuncinya itu

 

Seperti nanah yang meleleh dari ujung-ujung jarum jam dinding yang berhimpit ke atas itu

Seperti badai rintik-rintik yang di luar itu

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

 

LIRIK UNTUK LAGU POP

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

jangan pejamkan matamu: aku ingin tinggal di hutan yang gerimis

— pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri mawar (begitu nyaring!); swaramu adalah kertap bulu burung yang gugur (begitu hening!)

aku pun akan memecah pelahan dan bertebaran dalam hutan; berkilauan serbuk dalam kabut

— nafasmu adalah goyang anggrek hutan yang mengelopak (begitu tajam!)

aku akan berhamburan dalam grimis dalam seru butir air dalam kertap bulu burung dalam goyang anggrek

— ketika hutan mendadak gaib

jangan pejamkan matamu:

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

MATA PISAU

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

mata pisau itu tak berkejap menatapmu

kau yang baru saja mengasahnya

berfikir: ia tajam untuk mengiris apel

yang tersedia di atas meja

sehabis makan malam;

ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu

 

 

 

 

DI SEBUAH HALTE BIS

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

Hujan tengah malam membimbingmu ke sebuah halte bis dan membaringkanmu di sana. Kau memang tak pernah berumah, dan hujan tua itu kedengaran terengah batuk-batuk dan tampak putih.

Pagi harinya anak-anak sekolah yang menunggu di halte bis itu melihat bekas-bekas darah dan mencium bau busuk. Bis tak kunjung datang. Anak-anak tak pernah bisa sabar menunggu.Mereka menjadi kesal dan, bagai para pemabok, berjalan sempoyongan sambil melempar-lemparkan buku dan menjerit-jerit menyebut-nyebut namamu.

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

PERAHU KERTAS

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya Sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.

 

“Ia akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala.

 

Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-mu itu.

 

Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,

 

“Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit.”

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

PERISTIWA PAGI TADI

kepada GM

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

Pagi tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor tentang lelaki yang terlanggar motor waktu menyeberang.

 

Siang tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang sahabatmu yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, Ialu beramai-ramai diangkat ke tepi jalan.

 

Sore tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, lalu diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai di rumah sakit.

 

Malam ini kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa itu.

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

PESAN

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

Tolong sampaikan kepada abangku, Raden Sumantri, bahwa memang kebetulan jantungku tertembus anak panahnya.

Kami saling mencinta, dan antara disengaja dan tidak disengaja sama sekali tidak ada pembatasnya.

Kalau kau bertemu dengannya, tolong sampaikan bahwa aku tidak menaruh dendam padanya, dan nanti apabila perang itu tiba, aku hanya akan …..

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

PESTA

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

pesta berlangsung sederhana. Sedikit tangis, basa-basi itu; tinggal bau bunga gemetar pada tik-tok jam, ingin mengantarmu sampai ke tanah-tanah sana yang sesekali muncul dalam mimpi-mimpinya

. . . di sumur itu, si Pembunuh membasuh muka, tangan, dan kakinya

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

PUISI CAT AIR UNTUK RIZKI

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon itu, “aku rindu, aku ingin mempermainkanmu! ”

kabel telpon memperingatkan angin yang sedang memungut daun itu dengan jari-jarinya gemas, “jangan berisik, mengganggu .

hujan!”

hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam,

hardiknya, ‘lepaskan daun itu!”

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

SAJAK NOPEMBER

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

Siapa yang akan berbicara untuk kami

siapa yang sudah tahu siapa sebenarnya kami ini

bukanlah rahasia yang mesti diungkai dari kubur

yang berjejal

bukanlah tuntutan yang terlampau lama mengental

 

tapi siapa yang bisa memahami bahasa kami

dan mengerti dengan baik apa yang kami katakan

siapa yang akan berbicara atas nama kami

yang berjejal dalam kubur

 

bukanlah pujian-pujian kosong yang mesti dinyanyikan

bukanlah upacara-upacara palsu yang mesti dilaksanakan

tapi siapa yang sanggup bercakap-cakap dengan kami

siapa yang bisa paham makna kehendak kami

 

kami yang telah lahir dari ibu-ibu yang baik dan sederhana

ibu-ibu yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus

tanpa dicatat namanya

kepada Ibu yang lebih besar dan agung :

ialah Tanah Air

 

kami telah menyusu dari pada bunda yang tabah

yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus

untuk pergi lebih dahulu

apakah kau dengan para bunda itu mencari kubur kami

apakah kau dengar para bunda itu memanggil nama kami

mereka hanya berkaata : akan selalu kami lahirkan anak-anak yang baik

tanpa mengeluh serta putus asa

 

di Solo dua orang dalam satu kuburan

di Makasar sepuluh orang dalam satu kuburan

di Surabaya seribu orang dalam satu kuburan

dan kami tidak menuntut nisan yang lebih baik

tapi katakanlah kepada anak cucu kami;

di sini telah dikubur pamanmu, ayahmu, saudaramu

bertimbun dalam satu lobang

dan tiada yang tahu siapa nama mereka itu satu-persatu

 

tambur yang paling besar telah ditabuh

dan orang-orang pun keluar untuk mengenangkan kami

terompet yang paling lantang ditiup

dan mereka berangkat untuk menangiskan nasib kami dulu

kami pun bangkit dari kubur

memeluki orang-orang itu dan berkata : pulanglah

kami yang mati muda sudah tentram, dan jangan

diusik oleh sesal yang tak keruan sebabnya

 

kami hanya berkelahi dan sudah itu : mati

kami hanya berkelahi untukmu, untuk mereka

dan hari depan, sudah itu : mati

 

orang-orang pun menyiramkan air bunga yang wangi saat itu

tanpa tahu siapa kami ini

tiada mereka dengarkan ucapan terimakasih kami yang tulus

tiada mereka dengarkan salam kami bagi yang tinggal

tiada mereka lihatkah senyum kami yang cerah

dan sudah itu : mati

 

siapa berkata bahwa kami telah musnah

siapa berkata

 

kami kenal nama-namamu di mesjid di gereja di jalan di pasar

kami kenal nama-namamu di gunung di lembah di sawah

di ladang dan di laut, meskipun kalian

tiada menyadari kehadiran kami

 

siapa berkata bahwa kami telah musnah

siapa berkata

 

tanah air adalah sebuah landasan

dan kami tak lain baja yang membara hancur

oleh pukulan

ialah kemerdekaan

 

kemarin giliran kami

tapi besok mesti tiba giliranmu

kalau saja kau masih mau tahu ucapan terimakasih

terhadap tanah tempatmu selama ini berpijak

hidup dan mengerti makna kemerdekaan

 

dan kami adalah baja yang membara di atas landasan

dibentuk oleh pukulan : ialah kemerdekaan

(mungkin besok tiba giliranmu)

 

siapa yang tahu cinta saudara, paman dan bapa

siapa yang bisa merasa kehilangan saudara, paman dan bapak

ingat untuk apa kamu pergi

siapa yang pernah mendengar bedil, bom dan meriam

siapa yang sempat melihat luka, darah dan bangkai manusia

ingat kenapa kami tak kembali

 

begitu hebatkah kemerdekaan itu hingga kami korbankan

apa saja untuknya

jawablah : ya

begitu agungkah ia hingga kami tak berhak menuntut apa-apa

jawab lagi : ya

 

sudah kau dengarkah suara sepatu kami tengah malam hari

datang untuk memberkati anak-anak yang tidur

sebab merekalah yang kelak harus bisa mempergunakan

bahasa dan kehendak kami

sudah kau dengarkah suara napas kami

menyusup ke dalam setiap rahim bunda yang subur

sebab kami selalu dan selalu lahir kembali

selalu dan selalu berkelahi lagi

 

mungkin pernah kau kenal kami dahulu, mungkin juga tidak

mungkin pernah kau jumpa kami dahulu, mungkin juga tidak

tapi toh tak ada bedanya:

kami telah memulainya

dan kalian sekarang yang harus melanjutkannya

 

dan memang tak ada bedanya :

kalau hari itu bagi kami adalah saat penghabisan

bagimu adalah awal pertaruhan

awal dari apa yang terlaksana kemarin, kini besok pagi

meski kami pernah kau kenal atau tidak

meski kami pernah kau jumpa atau tidak

 

kami adalah buruh, pelajar, prajurit dan bapa tani

yang tak sempat mengenal nama masing-masing dengan baik

kami turun dari kampung, benteng, ladang dan gunung

lantaran satu harapan yang pasti

walau tak pernah kembali

 

 

kami hanyalah kubur yang rata dengan tanah dan tak bertanda

kami hanyalah kerangka-kerangka yang tertimbun dan tak punya nama

tapi hari ini doakan sesuatu yang pantas bagi kami

agar Tuhan yang selalu mendengar bisa mengerti dan

mengeluarkan ampun

kami adalah mayat-mayat yang sudah lebur dalam bumi

tapi adukan segala yang pantas tentang diri kami ini

agar tak lagi mengembara arwah kami

 

kami telah lahir, hidup dan berkelahi : dan mati

kami telah mati

lahir dari para ibu yang mengerti untuk apa kami lahir di sini

hidup di bumi yang mengerti semangat yang menjalankan kami

kami telah berkelahi; dan mati

tapi siapakah yang bisa menterjemahkan bahasa hati kami

dan mengatakannya kepada siapa pun

tapi siapakah yang bisa menangkap bahasa jiwa kami

yang telah mati pagi sekali

dan berjalan tanpa nama dan tanda

dalam satu lobang kubur

kami telah lahir dan selalu lahir

selalu dan selalu lahir dari para bunda yang tabah

selalu dan selalu berkelahi

di mana dan kapan saja

 

biarkan kami bicara lewat suara anak-anak

yang menyanyikan lagu puja hari ini

biarkanlah kami bicara lewat kesunyian suasana

dari orang-orang yang mengheningkan cipta hari ini

 

Sementara bendera yang kami tegakkan dahulu berkibar

atas rasa bangga kami yang sederhana

 

biarkanlah kami bicara hari ini

lewat suara anak-anak yang menyanyikan lagu puja

lewat kesunyian suasana orang-orang yang mengheningkan cipta

 

 

Gelora

Th III, No 19

( Nopember 1962)

Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

 

 

TUAN

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,

saya sedang ke luar.

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

SAJAK SUBUH

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

Waktu mereka membakar gubuknya awal subuh itu ia baru saja bermimpi tentang mata air. Mereka berteriak, “Jangan bermimpi!” dan ia terkejut tak mengerti.

Sejak di kota itu ia tak pernah sempat bermimpi. Ia ingin sekali melihat kembali warna hijau dan mata air, tetapi ketika untuk pertama kalinya. Ia bermimpi subuh itu, mereka membakar tempat tinggalnya.

“Jangan bermimpi!” gertak mereka.

Suara itu terpantul di bawahjembatan dan tebing-tebing sungai. Api menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap ke pori-pori kulitnya. Ia tak memahami perintah itu dan mereka memukulnya, “Jangan bermimpi! ”

Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan …..

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

SAJAK TELUR

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

dalam setiap telur semoga ada burung dalam setiap burung

semoga ada engkau dalam setiap engkau semoga ada yang senantiasa terbang menembus silau matahari memecah udara dingin

memuncak ke lengkung langit menukik melintas sungai

merindukan telur

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

SELAMAT PAGI INDONESIA

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk

dan menyanyi kecil buatmu.

aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,

dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam

kerja yang sederhana;

bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan

tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.

selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,

di mata para perempuan yang sabar,

di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;

kami telah bersahabat dengan kenyataan

untuk diam-diam mencintaimu.

pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu

agar tak sia-sia kau melahirkanku.

seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam

padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.

aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,

merubuhkan kesangsian,

dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng

kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman

yang megah,

biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu

wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,

para perepuan menyalakan api,

dan di telapak tangan para lelaki yang tabah

telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.

 

Selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil

memberi salam kepada si anak kecil;

terasa benar : aku tak lain milikmu

 

 

 

Basis

Thn. XV – 4

Januari 1965

Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

 

 

 

SERULING

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

Seruling bambu itu membayangkan ada yang meniupnya, menutup-membuka lubang-lubangnya, menciptakan pangeran dan putri dari kerajaan-kerajaan jauh yang tak terbayangkan merdunya ….

Ia meraba-raba lubang-lubangnya sendiri yang senantiasa menganga.

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

 

SETANGAN KENANGAN

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

Siapakah gerangan yang sengaja menjatuhkan setangan di lorong yang berlumpur itu. Soalnya, tengah malam ketika seluruh kota kena sihir menjelma hutan kembali, ia seperti menggelepar- gelepar ingin terbang menyampaikan pesan kepada Rama tentang rencana ….

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

 

SUDAH KUTEBAK

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

Sudah kutebak kedatanganmu. Seperti biasanya,

kau berkias tentang sepasang ikan yang menyambar-nyambar umpan sedikit demi sedikit,

menggosok-gosokkan tubuh di karang-karang,

menyambar, berputar-putar membuat lingkaran,

menyambar, mabok membentur batu-batuan.

Kutebak si pengail masih terkantuk-kantukdi tepi sungai itu.

Sendirian.

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

 

TAJAM HUJANMU

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

tajam hujanmu

ini sudah terlanjur mencintaimu:

payung terbuka yang bergoyang-goyang di tangan kananku,

air yang menetes dari pinggir-pinggir payung itu,

aspal yang gemeletuk di bawah sepatu,

arloji yang buram berair kacanya,

dua-tiga patah kata yang mengganjal di tenggorokan

deras dinginmu

sembilu hujanmu

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

 

 

TEKUKUR

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

Kautembak tekukur itu. Ia tak sempat terkejut, beberapa lembar bulunya lepas; mula-mula terpencar di sela-sela jari angin, satu-dua lembar sambar-menyambar sebentar, lalu bersandar pada daun-daun rumput. “Kena!” serumu.

 

Selembar bulunya ingin sekali mencapai kali itu agar bisa terbawa sampai jauh ke hilir, namun angin hanya meletakkannya di tebing sungai. “Tapi ke mana terbang burung luka itu?” gerutumu.

 

Tetes-tetes darahnya melayang : ada yang sempat melewati berkas- berkas sinar matahari, membiaskan wama merah cemerlang, lalu jatuh di kuntum-kuntum bunga rumput.

 

“Merdu benar suara tekukur itu,” kata seorang gadis kecil yang kebetulan lewat di sana; ia merasa tiba-tiba berada dalam sebuah taman bunga.

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

 

TELINGA

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

“Masuklah ke telingaku,” bujuknya.

Gila

ia digoda masuk ke telinganya sendiri

agar bisa mendengar apa pun

secara terperinci — setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis

yang menciptakan suara.

“Masuklah,” bujuknya.

Gila ! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannya kepada diri sendiri.

 

 

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

 

 

 

 

TENTANG MATAHARI

Oleh :

Sapardi Djoko Damono

 

Matahari yang di atas kepalamu itu

adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu

 

waktu kau kecil, adalah bola lampu

yang di atas meja ketika kau menjawab surat-surat

yang teratur kau terima dari sebuah Alamat,

 

adalah jam weker yang berdering

sedang kau bersetubuh,

 

adalah gambar bulan

yang dituding anak kecil itu sambil berkata :

“Ini matahari! Ini matahari!”

 

Matahari itu? Ia memang di atas sana

supaya selamanya kau menghela

bayang-bayanganmu itu.

kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono 1

AKU INGIN

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

PADA SUATU HARI NANTI 
pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari

GADIS KECIL

Ada gadis kecil diseberangkan gerimis
di tangan kanannya bergoyang payung
tangan kirinya mengibaskan tangis
di pinggir padang,ada pohon
dan seekor burung…

DALAM BIS

langit di kaca jendela bergoyang
terarah ke mana wajah di kaca jendela
yang dahulu juga
mengecil dalam pesona
sebermula adalah kata
baru perjalanan dari kota ke kota
demikian cepat
kita pun terperanjat
waktu henti ia tiada…

HATIKU SELEMBAR DAUN

hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

KETIKA JARI-JARI BUNGA TERLUKA
Ketika Jari-jari bunga terluka
mendadak terasa betapa sengit, cinta kita
cahaya bagai kabut, kabut cahaya
di langit menyisih awan hari ini
di bumi meriap sepi yang purba
ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata
suatu pagi, di sayap kupu-kupu
disayap warna, suara burung
di ranting-ranting cuaca
bulu-bulu cahaya
betapa parah cinta kita
mabuk berjalan diantara
jerit bunga-bunga rekah…
Ketika Jari-jari bunga terbuka
mendadak terasa betapa sengit, cinta kita
cahaya bagai kabut, kabut cahaya
di langit menyisih awan hari ini
di bumi meriap sepi yang purba
ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata

BUAT NING 
pasti datangkah semua yang ditunggu
detik-detik berjajar pada mistar yang panjang
barangkali tanpa salam terlebih dahulu
januari mengeras di tembok itu juga
lalu desember…
musim pun masak sebelum menyala cakrawala
tiba-tiba kita bergegas pada jemputan itu

Pada Suatu Pagi Hari

Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu.
Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.

Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur.
Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik rintik di lorong sepi pada suatu pagi.

SAJAK KECIL TENTANG CINTA
mencintai angin harus menjadi siut
mencintai air harus menjadi ricik
mencintai gunung harus menjadi terjal
mencintai api harus menjadi jilat
mencintai cakrawala harus menebas jarak
mencintaiMu harus menjadi aku

DALAM DIRIKU

dalam diriku mengalir
sungai panjang
darah namanya…
dalam diriku menggenang
telaga darah
sukma namanya…
dalam diriku meriak
gelombang suara
hidup namanya…
dan karena hidup itu indah
aku menangis sepuas-puasnya…

NOKTURNO 
kubiarkan cahaya bintang memilikimu
kubiarkan angin yang pucat
dan tak habis-habisnya
gelisah
tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu
entah kapan kau bisa kutangkap…

HUJAN BULAN JUNI
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

HUTAN KELABU DALAM HUJAN

Hutan kelabu dalam hujan
Lalu kusebut kembali kau pun kekasihku
Langit di mana berakhir setiap pandangan
Bermula kepedihan, rindu itu

Temaram temasa padaku semata
Memutih dari seribu warna
Hujan senandung dalam hutan
Lalu kelabu, mengabut nyanyian

SAJAK KECIL TENTANG CINTA

Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala harus menebas jarak
MencintaiMu(mu) harus menjadi aku

Sihir Hujan
Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan
swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela.
Meskipun sudah kau matikan lampu.
Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan
menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh
waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan.

DI RESTORAN

Kita berdua saja,  duduk
Aku memesan ilalang panjang dan bunga rumput kau entah memesan apa.
Aku memesan batu di tengah sungai terjal yang deras kau entah memesan apa.
Tapi kita berdua saja, duduk.
Aku memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya, memesan rasa lapar yang asing itu.

KETIKA KAU TAK ADA

ketika kau tak ada, masih tajam seru jam dinding itu
jendela tetap seperti matamu
nafas langit pun dalam dan biru, hanya aku yang
menjelma kata, mendidih, menafsirkanmu

kau mungkin jalan menikung-nikung itu
yang menjulur dari mimpi, yang kini
mesti kutempuh, sebelum sampai di muaramu
sungguh tiadakah tempat berteduh disini?

kalau tak ada di antara jajaran cemara itu
kepada Siapa meski kucari jejak nafasmu?
magrib begitu deras, ada yang terhempas
tapi ada goresan yang tak akan terkelupas

ANGIN 1
Oleh : sapardi Djoko Damono

angin yang diciptakan untuk senantiasa bergerak
dari sudut ke sudut dunia ini
pernah pada suatu hari berhenti
ketika mendengar suara nabi kita Adam
menyapa istrinya untuk pertama kali,
“hei siapa ini yang mendadak di depanku?”
angin itu tersentak kembali
ketika kemudian terdengar jerit wanita
untuk pertama kali,
sejak itu ia terus bertiup tak pernah menoleh lagi
— sampai pagi tadi:
ketika kau bagai terpesona
sebab tiba-tiba merasa scorang diri
di tengah bising-bising ini tanpa Hawa

ANGIN 2

Angin pagi menerbangkan sisa-sisa unggun api yang terbakar
semalaman.
Seekor ular lewat, menghindar.
Lelaki itu masih tidur.
Ia bermimpi bahwa perigi tua yang tertutup ilalang panjang
di pekarangan belakang rumah itu tiba-tiba berair kembali.

ANGIN 3
Oleh : sapardi Djoko Damono

“Seandainya aku bukan ……
Tapi kau angin!
Tapi kau harus tak letih-letihnya beringsut dari sudut ke sudut kamar,
menyusup celah-celah jendela, berkelebat di pundak bukit itu.
“Seandainya aku . . . ., .”
Tapi kau angin!
Nafasmu tersengal setelah sia-sia menyampaikan padaku
tentang perselisihan antara cahaya matahari dan warna-warna bunga.
“Seandainya ……
Tapi kau angin!
Jangan menjerit:
semerbakmu memekakkanku.

YANG FANA ADALAH WAKTU

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu.
Kita abadi.

AKULAH SI TELAGA
akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan
bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
— perahumu biar aku yang menjaganya
 

Dalam sakit

waktu lonceng berbunyi
percakapan merenda
kita kembali menanti-nanti
kau berbisik,
siapa lagi akan tiba?
siapa lagi menjemputmu
berangkat berduka?
di ruangan ini
kita kait dalam gema
di ruang malam hari
merenda keadaan rahasia
kita pun setia memulai percakapan kembali
seakan abadi menanti-nanti
lonceng berbunyi

Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate San Fransisco

kabut yang likang
dan kabut yang pupuh
lekat dan gerimis pada tiang-tiang jembatan
matahari menggeliat dan kembali gugur
tak lagi di langit berpusing
di perih lautan

sajak desember

kutanggalkan mantel serta topiku yang tua
ketika daun penanggalan gugur
lewat tengah malam. kemudian kuhitung
hutang-hutangku pada-Mu
mendadak terasa: betapa miskinnya diriku;
di luar hujan pun masih kudengar
dari celah-celah jendela. ada yang terbaring
di kursi letih sekali
masih patutkah kuhitung segala milikku
selembar celana dan selembar baju
ketika kusebut berulang nama-Mu; taram
temaram bayang, bianglala itu

1961

Metamorfosis

ada yang sedang menanggalkan
kata-kata yang satu demi satu
mendudukkanmu di depan cermin
dan membuatmu bertanya
tubuh siapakah gerangan
yang kukenakan ini
ada yang sedang diam-diam
menulis riwayat hidupmu
menimbang-nimbang hari lahirmu
mereka-reka sebab-sebab kematianmu
ada yang sedang diam-diam
berubah menjadi dirimu